Macet Penyebab Stres hingga Gangguan Kejiwaan
KEMACETAN
di Kota Jakarta semakin parah. Tidak hanya menyebabkan kerugian materi,
pengemudi kendaraan juga dilanda frustrasi, stres, hingga gangguan
kejiwaan.
Sudah menjadi pemandangan sehari-hari, saat jam pergi dan pulang kantor, ruas jalan di Jakarta tampak seperti tempat parkir raksasa. Berbagai kendaraan, mulai mobil, motor, bus, hingga angkutan umum berjalan tersendat.
Cerita Kooswardini Wulandari, 27, bisa menjadi contoh bagaimana macet sudah begitu mengkhawatirkan. Saban hari, untuk mencapai kantornya di bilangan Jalan Gatot Subroto, Jakarta, dari rumahnya di kawasan Kemang Pratama, Bekasi, dia harus melewati “jalur neraka”.
Jalur sepanjang 30 kilometer itu dilaluinya hingga berjam-jam. Macet bahkan sudah terjadi di dalam ruas jalan tol dalam kota yang seharusnya bebas hambatan. Tak ayal Dini, panggilan karibnya, selalu menyiasatinya dengan bangun lebih pagi. Jika tidak, bisabisa dia telat masuk kantor. “Padahal dulu sekitar dua tahun lalu, satu jam lebih juga sudah sampai,” ujarnya.
Dampaknya bisa ditebak, perempuan yang berprofesi sebagai account supervisor itu merasa kelelahan. Kantung mata tampak jelas di wajahnya. Tidak hanya fisik, Dini juga didera gangguan psikis. Walau tak sampai menjadi depresi, menangis sepanjang perjalanan sering dialaminya. Dia juga merasa kurang produktif bekerja akibat sudah terlampau capek sampai kantor.
Kisah Dini mungkin juga dialami oleh warga Jakarta lainnya. Data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menyebutkan, pada setiap harinya populasi kendaraan bertambah sekitar 1.172 kendaraan. Sementara, pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 persen per tahun.
Efeknya, ekspresi kekesalan seperti umpatan, gerutuan, dan makian lantas ditumpahkan para pengguna jalan. Bahkan, bisa berujung pada perasaan stres dan depresi karena kesal dan jengkel selalu terkena macet di jalan. Sebuah penelitian pada tahun lalu di Inggris menyebutkan, jalanan macet dapat menyebabkan seseorang menderita gangguan yang disebut dengan traffic stress syndrom (TSS). Gejalanya antara lain peningkatan detak jantung, telapak tangan mulai berkeringat, hingga kram perut. Seseorang yang mengalami TSS akan mulai muncul gejala stres dalam waktu 3-5 menit.
“Mengalami TSS akan memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku pengemudi, seperti kehilangan konsentrasi, sulit untuk fokus dan mengemudi secara berbahaya atau berisiko,” ujar David Moxon, Kepala Psikologi dari Peterborough Regional College, Inggris, seperti dilansir Roadsafe.org.
Namun, apa benar macet bisa mengganggu psikis seseorang? ”Tergantung bagaimana seseorang bisa beradaptasi dengan situasi tersebut,” jawab psikiater dari Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) dr Endah Ronawulan SpKJ kepada SINDO.
Orang yang mudah beradaptasi, menurut dia, dapat langsung menyiasati problem terjebak macet dengan baik. Jika tidak dapat beradaptasi, maka risiko menderita stres semakin meningkat. Stres yang dialami akan mengarah pada rasa cemas atau gelisah, tidak sabar, kelelahan, perasaan emosional, dan mudah marah. Adapun yang paling parah adalah terjadi stres berat dengan melakukan suatu tindakan yang tidak terkontrol.
”Sebenarnya mereka yang tidak bisa beradaptasi sudah punya bakat untuk stres, tinggal pemicunya saja,” kata Endah.
Kemampuan adaptasi ini, menurut Endah, dipengaruhi kepribadian asli seseorang, yang sudah terbentuk sejak lahir. Karakter itu misalnya pemarah, supel, perfesionis, dramatisasi, tidak bisa diam, pendiam atau tenang.
”Orang yang karakter perfeksionis, misalnya, merasa waktunya terbuang percuma karena macet, jadinya marah-marah.Atau yang dramatisasi, dia merasa sudah berjam- jam macet, padahal baru beberapa menit,” katanya.
Atau bisa juga karena orang tersebut telah menderita masalah kejiwaan atau gangguan psikologis yang berat, seperti rasa cemas berlebihan, manik depresif, dan fobia.
”Ada pasien saya yang langsung berdebar dan sesak napas waktu macet karena dia panik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar