HUBUNGAN SEKS PRANIKAH REMAJA KINI
Seiring dengan perkembangan zaman, perubahan terjadi pada
hampir di segala segi kehidupan. Adanya perubahan yang terjadi dalam
masyarakat secara perlahan, telah menyebabkan pergeseran nilai-nilai
yang dianut, termasuk dalam masalah seks pada remaja. Perlu sikap jujur
untuk mengakui dan memahami bahwa nilai dan norma bahkan standar moral
di masyarakat sudah mengalami pergeseran. Langkah-langkah penanggulangan
dan lain sebagainya tentu saja menjadi agenda yang bisa diusulkan
kepada pihak-pihak yang berkompeten. Perilaku seksual pranikah adalah
semua bentuk tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang
dilakukan oleh individu dengan individu lain sebelum menikah.
Bermacam-macam bentuk-bentuk perilaku seks pranikah yang dilakukan
remaja yaitu: Kissing (berciuman), Petting, Intercourse (bersenggama).
Masalah ini merupakan masalah yang sensitif yang menyangkut
masalah-masalah peraturan sosial, segi-segi moral, etika dalam
masyarakat dan aturan-aturan dalam agama. Fenomena yang ada dalam
masyarakat saat ini, bila dilihat dari media-media informasi seperti
surat kabar, televisi, radio dan laporan-laporan dari berbagai sumber
menunjukkan hubungan seks pra nikah sudah menjadi hal yang sangat biasa
dilakukan di kalangan masyarakat, dengan bukti nyata semakin banyaknya
para remaja melakukan seks sebelum menikah tersebut. Dapat diketahui
juga ada beberapa faktor yang mempengaruhi individu melakukan hubungan
seks pranikah di usia remaja yaitu: peran orang tua dalam mendidik anak,
ketabuan pengerahuan seksulitas, kelompok bermain (peers group),
media massa, usia yang erat hubungannya dengan kematangan seks (masa
puberitas), pengalaman hubungan afeksi (pacaran), mudahnya mengakses
hal-hal terkait seksualitas, dan juga disebabkan karena sudah semakin
bebasnya pergaulan para remaja di lingkungan masyarakat sehingga
memarakkan munculnya fenomena tentang perilaku seks pranikah dikalangan
remaja, yang diiringi semakin lemahnya kekuatan norma-norma yang berlaku
pada masyarakat dalam mengkondisikan bagian masyarakat itu sendiri.
Beberapa tahun belakangan ini bermunculan berbagai literatur yang
membahas remaja dan penyimpangan perilaku seksual. Di antaranya adalah
hasil tulisan dari Moammar Emka (2005) mengenai perilaku seks bebas
masyarakat di ibukota, terutama pergaulan remaja di tempat-tempat yang
memang disediakan untuk melakukan perbuatan tersebut, misalnya diskotik,
villa maupun tempat-tempat prostitusi pada umumnya, dan juga IIp
Wijayanto (2003) megenai pemanfaatan kata “cinta” dalam pacaran untuk
melakukan Seks Before Married, yang didasarkan pada penelitiannya
terhadap perilaku mahasiswa di kota Yogyakarta. Disamping kedua tulisan
tersebut, masih banyak tulisan-tulisan lain yang mencoba
meng-konsep-kan penyimpangan sebagai akibat perubahan nilai dalam
masyarakat. Dan dalam tulisan ini, penulis mencoba lebih menyederhanakan
pokok permasalahan sehingga lebih mengarahkan pada solusi ataupun thretment
dari persoalan ini berdasarkan ajaran agama Islam, dan tulisan ini juga
akan memfokuskan pada perilaku seks pra-nikah yang dilakukan oleh
remaja dalam perantauannya, baik dalam rangka menempuh pendidikan maupun
bekerja, dengan alasan mereka yang sedang merantau rentan akan
perubahan nilai yang ada disekitarnya sehingga berujung pada
ketidaksesuaian berperilaku dalam diri remaja itu sendiri.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui mengenai latar belakang
semakin merebaknya hubungan seks pranikah di lingkungan remaja yang jauh
dari rumah (merantau) dan juga solusi yang ditawarkan menurut tinjauan
agama Islam. Hasil tulisan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pihak terkait untuk mengeliminir dan mencegah meningkatnya perilaku seks
bebas di kalangan remaja pada rantauannya dengan peningkatan
pengawasan, penanaman norma agama dan nilai-nilai yang ada di masyarakat
sesuai dengan daerah setempat serta peningkatan kesibukan bagi
mahasiswa maupun pekerja dengan berbagai kegiatan sosial dan tugas-tugas
akademik. Selain itu, dengan tulisan ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan solusi dari problema seksualitas dan sumbangan pemikiran bagi
masyarakat, terutama kepada individu remaja, orang tua maupun kepada
penyelenggara lembaga-lembaga bimbingan untuk meningkatkan penanganan
bantuan kepada para remaja usia pra-nikah sesuai dengan nilai-nilai yang
benar dan sesuai menurut tinjauan nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan
subyek tulisan adalah remaja yang sedang merantau, baik sebagai
mahasiswa maupun pekerja.
Penyebab Terjadinya Hubungan Seks Pranikah Di Kalangan Remaja Di Perantauan.
Semakin maraknya hubungan seks pra nikah terjadi dalam kehidupan remaja, khususnya remaja yang sedang merantau, dewasa ini memiliki latar belakang penyebab seseorang melakukannya, baik yang berasal dari diri seseorang maupun dari luar diri seseorang terseut (lingkungan).
Dengan kedua sumber penyebab inilah seorang remaja yang ada di alam perantauannya akan mengalami perubahan secara lambat tapi pasti sebagai salah satu upayanya untuk melakukan adaptasi menghadapi alam lingkungan yang berbeda dengan daerah asalnya. Dalam masa perantauannya ini, remaja seperti mengalami masa puber tahap kedua, terutama bagi mereka yang belum menemukan akan jati-dirinya atau mereka yang selama ini hanya berkecimpung dalam “lingkaran” keluarga maupun lingkungan akademik. Dari hal itulah kemudian memunculkan perubahan yang positif (sesuai dengan agama dan nilai-nilai yang ada) dan juga perubahan yang negative, dimana kebanyakan dari remaja terdorong kepada hal negatif yang salah satu diantaranya adalah terjadinya hubungan seks pra nikah dalam kehidupan remaja di perantauan.
Hubungan seks pranikah dapat digolongkan sebagai perilaku menyimpang atau bisa juga disebut bagian dari kenakalan remaja, sebagai akibat gagalnya sistem kontrol diri terhadap pengaruh dari luar yang kuat serta dorongan dalam diri remaja itu sendiri, atau bisa dibilang lemahnya pengendalian diri seseorang terhadap rangsangan-rangsangan di sekitarnya sehingga mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang, yang diangapnya sebagai perbuatan yang mengandung “nilai lebih” oleh indiidu maupun kelompok remaja (peer group). Adapun remaja yang melakukan perilaku menyimpang pada umumnya memiliki ciri kebribadian khusus yang lebih berorientasi pada “kehidupan masa sekarang”, yaitu bersenang-senang dan puas pada hari ini dan kurang memperhatikan hari esok, sehingga mereka mengalami kekurang mampuan untuk mengenal norma-norma yang ada serta kurang bertanggung jawab secara sosial. Dalam tulisan ini, penulis menggolongkan hubungan seks pranikah ke dalam kelompok delinkuensi komulatif, dimana remaja terkena imbas dari konflik antara budaya tradisional dan budaya modern, sehingga membuat kegelisahan hati pada remaja yang kemudian mendorong mereka untuk berbuat sesuai dengan pemikirannya sendiri. Bahkan pernah menjadi hal yang mengejutkan dala masyarakat, bahwa kebanyakan remaja melakukan seks pra nikah only for fun, tanpa menyadari apa dampaknya nanti bagi dirinya maupun orang-orang disekitarnya
Adapun penjelasan latar belakang dari semakin marakanya hubungan seks pranikah dalam kehidupan remaja di alam perantauan ini akan dijabarkan dengan menggunakan kerangka teori Social-Learning dari Bandura, teori tersebut berpendapat bahwa perilaku manusia dibedakan oleh tiga hal yang saling berhubungan antara faktor personal/individu, faktor lingkungan, dan faktor perilaku. Dimana yang menjadi Faktor personal dalam masalah ini adalah rasa malu dalam diri remaja, pengetahuan mengenai seksualitas, sikap terhadap hal-hal yang berbau seksualitas, keterbukaan dalam komunikasi dengan orang tua maupun orang yang sesuai dengan keadaaannya, gaya hidup, pengendalian diri, aktifitas sosial, rasa percaya diri, usia, agama dan status hubungan. Sedangkan yang termasuk didalam Faktor lingkungan adalah akses dan kontak dengan sumber-sumber informasi, akses terhadap benda maupun tempat yang berhubungan seksualitas, kehidupan sosial-budaya masyarakat, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu. Dan yang terakhir adalah Faktor perilaku, termasuk didalam faktor ini adalah gaya hidup seksual (orientasi seksual, pengalaman seksual, jumlah pasangan), peristiwa-peristiwa kesehatan (Penyakit Menular Seksual, kehamilan, aborsi) dan penggunaan alat kontrasepsi.
sDalam faktor personal atau faktor dari dalam diri seseorang inilah yang lebih banyak pengaruhnya bagi kehidupan seseorang. Dalam tulisan ini penulis akan menjabarkan beberapa hal yang termasuk faktor personal yang dianggap penting, yaitu rasa malu, keingin-tahuan akan hal-hal seksualitas, dan keterbukaan antara anak dan orang tua. Adapun yang akan dibahas pertama dari faktor personal adalah semakin minimnya rasa malu pada seseorang sehingga mengakibatkan hijab budaya luntur dari kehidupan masyarakat. Sering didapati bahwa dalam pergaulan remaja dewasa ini, tindakan-tindakan yang tidak sesuai norma sudah biasa dilakukan dan bahkan menjadi pemandangan yang umum dalam masyarakat, semisal memakai baju yang minim dan seksi bagi remaja cewek di tempat umum menjadi pemandangan yang sudah biasa, bahkan melihat para remaja berpacaran dengan cara-cara yang sudah menjurus di tempat umum pun sudah biasa, bahkan mereka berbuat sedemikian rupa yang seolah-olah dunia ini hanya ada mereka dan yang lainnya numpang. Hal ini yang kemudian penulis anggap sebagai pacaran yang salah, yang tanpa didasari rasa sayang dan hanya “cinta”. Lunturnya budaya malu dalam diri remaja lebih banyak disebabkan keinginan mereka untuk mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa mereka eksis dan pantas untuk dianggap bagian dari masyarakat tersebut. Apalagi bagi remaja yang alam perantauannya adalah kota besar dengan tingkat modernitas tinggi, yang nilai-nailai kearifan lokalnya sudah mulai memudar, mereka (para remaja) dihadapkan pada arah adaptasi yang semakin meninggalkan nilai-nilai yang mereka warisi dari daerah asal, yang sering kali nilai-nilai di alam rantau justru mengarahkan pada mereka pada hal-hal yang negatif. Sehingga para remaja menjadi bingung membedakan antara mana yan baik maupun yang buruk, karena yang dianggap baik di daerah asal, belum tentu dianggap baik di daerah perantauan, begitu pula sebaliknya. Hal ini yang kemudian menyebabkan remaja semakin kehilangan pegangan akan hal yang seharusnya dia merasa malu atau merasa biasa, atau bahkan bangga. Dari sinilah banyak dari remaja yang kemudian terdorong untuk berani melakukan hubungan seks pra nikah, yang bahkan mereka tidak malu mengakuinya bahkan membanggakannya di lingkungan pergaulannya.
Selain semakin minimnya rasa malu seseorang, penyebab lainnya adalah adanya rasa keingintahuan remaja akan seksualitas, hal ini merupakan sifat dasar bahkan sering dikatakan sudah menjadi bagian dari Sunnatulloh yang dimiliki anusia. Akan tetapi pada kenyataannya rasa keingin tahuan ini yang biasanya tidak dipenuhi oleh orang tua, adapun pendidikan akan seksual yang harus dilakukan orang tua sering kali kurang ada petunjuk yang jelas tentang cara mendidik anak mengenai seksual, bahkan orang tua kadang beranggapan bahwa anaknya masih belum pantas untuk mendapat pendidikan tentang seksual. Hal ini menyebabkan mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lainnya, seperti teman atau media-media informasi. Dengan teman sepergaulannya remaja merasa sangat bebas membicarakan masalah seksualitas, bahkan hal ini sering menjadi topik pembicaraan yang dianggap menarik selama proses bergaul. Media massa, baik cetak maupun elektronik, menyediakan banyak informasi yang juga bisa diakses oleh remaja, kapan saja dan di mana saja. Sementara pendidikan seks dari orang tua maupun pihak-pihak yang berkompeten masih terbilang kurang, mengakibatkan remaja dapat terjerumus ke pergaulan bebas dan pelanggaran hukum lainnya. Apalagi bagi remaja yang ada di alam perantauan, yang memiliki fasilitas media untuk mengakses hal tersebut secara bebas dan tanpa filter, terutama dari media Internet dan juga majalah-majalah dewasa.
Friedan (2000:41) dalam Resmiwaty (2006) mengatakan bahwa media, terutama televisi dan majalah telah dijadikan sarana menjual berbagai komoditas seks yang banyak dijumpai belakangan ini. Sehingga dapat disimpulakan bahwa dengan perkembangan teknologi yang terlalu cepat dan kurangnya kesiapan dari mayarakat dalam menghadapi perubahan tersebut pada akhirnya akan menimbulkan hal yang negatif yang besar, misal akses kepada informasi yang dianggap tabu semakin mudah diantaranya akses kepada hal-hal yang berbau pornografi. Hal ini memicu pemuasan atas rasa keingintahuan yang besar pada remaja akan permasalahan tersebut. Dalam hal ini teknologi berperan sebagai penunjang terjadinya perubahan sosial yang cukup besar. Dengan teknologi membawa kita pada hal-hal yang sebelumnya sulit dicapai menjadi lebih mudah, bahkan menyadarkan pad nilai-nilai yang berbeda dengan kondisi yang ada, dalam hal ini terkait informasi seksualitas yang beredar dan dapat diakses melalui media elektronik. Sehingga keberadaan teknologi ini kemudian membawa masalah sosial baru dalam masyarakat, dimana masalah baru ini berpengaruh besar dan berkembang pada diri individu-individu. Disini teknologi menjadi saluran inovasi yang tepat untuk masyarakat, dan masyarakat sendiri mau ataupun tidak mau, menjadi konsumen pasif dari inovasi teknologi tanpa mampu memfilter pengaruhnya secara intensif.
Kemudian ditambah sikap kurang terbukanya anak kepada Orang tua, si anak berusaha menyimpan masalahnya sendiri serapat mungkin akibat putusnya hubungan komunikasi dengan keluarga karena orang tua cenderung konservatif dan anak berada di alam perantauan. Orang tua sendiri dirasa kurang bisa mengamati fase awal anak merantau, dimana muncul anggapan di kalangan orang tua, bahwa anak yang selama ini menjadi tanggung jawabnya sudah dewasa dan pantas untuk di”lepas”kan. Apalagi ditambah kepercayaan yang diberikan orang tua untuk pengelolaan finansiaan dan lainnya secara mandiri, hal inilah yang kemudian disebut sikap orang tua yang lebih permisif terhadap anak.
Sedangkan untuk faktor lingkungan adalah adanya tokoh masyarakat yang melakukan hubungan bebas yang kemudian menjadi media kampanye dan propaganda seks bebas yang selanjutnya menjadi trend anak muda. Masyarakat saat melihat yang mereka anggap lebih tingi derajatnya akan berusaha meniru, baik secara sadar maupun tidak, dari perbuatan “tokoh” tersebut. Misalkan adanya kaum selebritis yang hamil di luar nikah ataupun artis telah terkenal dengan “aksi” seksualnya, akan menjadi semacam daya tarik dari masyarakat awam untuk beranggapan bahwa hal itu pantas dan menjadi legal, apalagi yang melakukan hal tersebut adalah tokoh agama ataupun keluarga dari tokoh agama itu sendiri. Seperti yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, saat seorang anak dari Ustadz terkenal mencium pacarnya yang sedang sakit dan diliput dalam media massa, mengakibatkan timbulnya pengabsahan perbuatan tersebut dalam masyarakat. Hal ini disebabkan kurangnnya pemahaman agama secara tekstual, dan lebih taqlid terhadap seorang figur secara membabi buta
Kemudian kurangnya tanggung jawab masyarakat akan cinta dan sex bebas menjadi faktor penyebab lain yang dirasa pengaruhnya cukup kuat dalam diri individu. Selain itu, masyarakat masih menganggap “tabu” untuk membicarakan masalah seksualitas, yang kemudian ditambah dengan kurangnya perhatian masyarakat untuk menjaga anggotanya dari pengaruh yang salah seperti itu. Sebagai akibat keegoisan masyarakat kota yang menjadi lingkungan baru bagi remaja yang marantau. serta lemahnya kontrol budaya pada masyarakat (gropyokan atau sweeping). Terutama pada rumah kost maupun kontrakan yang sering kali diserahkan pada pengontrak dan tidak mempedulikan apa yang akan terjadi pada rumah tersebut. Banyak diantara para perantau remaja yang bermesraan dilanjutkan dengan hubungan seks dengan pasangannya di tempat kost. Hal ini dapat dilakukan karena tidak adanya pengawasan dari pihak pemilik rumah kost, ditambah lagi masyarakat sekitar yang cenderung tidak mau tahu dengan apa yang terjadi di lingkungan mereka. Bahkan yang menjadi alternative lain bagi para remaja yang sedang terbuai dalam nafsunya adalah dengan menyewa tempat-tempat bermalam yang mengizinkan muda-mudi dalam satu ruangan, semisal hotel, motel maupun villa.
Dan yang terakhir adalah faktor perilaku, dimana merupakan perwujudan dari kedua faktor sebelumnya. Remaja dalam alam perantauan sering kali dihadapkan gaya hidup seksual yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh Individu dari daerah asalnya, dimana dalam alam perantauan bisa diketemukan penyelewengan orientasi seksual yang dilegalkan, missal terbentuknya perkumpulan Gay maupun waria, hal ini kemudian secara perlahan akan merubah nilai yang dianut remaja, sehingga bukan tidak mungkin akan terjerumus kepada penyelewengan orientasi seksual tersebut sebgaia akibta terjalinnya kontak komunikasi antara individu dengan “mereka”. Maslah lain yang dialami remaja terkait gaya hidup seksualitas adalah pengalaman seksual, baik yang dialami sendiri maupun yang dialami temannya yang kemudian diceritakan kepadanya, baik dalam bentuk berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, berkencan, bahkan sampai melakukan senggama. Yang kemudian mendorong remja untuk melakukan lebih dari pengalaman sebelumnya, seperti yang sebelumnya berani melakukan pegangan tangan akan berkembang pada pelukan atau ciuman. Pengalaman-pengalaman yang didapat individu ini kemudian dapat semakin menyebar ke individu lain sebagai akibat seringnya gonta-ganti pasangan, yang pengalaman yang biasanya dilakukan dengan pasangan sebelumnya akan dilakukan juga dengan pasangan yan baru, sehingga dari situ akan terus menyebar di kalangan remaja tanpa ada pembatasan yang pasti. Dan penjelasan terakhir dari faktor ini adalah penggunaan alat kontrasepsi sebagai media untuk melakukan seks yang “aman”. Istilah aman yang menyertai sering penggunaan alat kontrasepsi ini sering kali mengaburkan pengertian terhadap seks yang aman dengan yang “aman”. Seks yang aman sebenarnya adalah seks yang dilakukan dalam ikatan suci atau pernikahan yang membawa pelakunya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, yang diharapkan berujung pada lahirnya buah cinta atau anak, bukan “aman” dalam artian mengurangi resiko hamil atau terkena penyakit seksual.
Semakin maraknya hubungan seks pra nikah terjadi dalam kehidupan remaja, khususnya remaja yang sedang merantau, dewasa ini memiliki latar belakang penyebab seseorang melakukannya, baik yang berasal dari diri seseorang maupun dari luar diri seseorang terseut (lingkungan).
Dengan kedua sumber penyebab inilah seorang remaja yang ada di alam perantauannya akan mengalami perubahan secara lambat tapi pasti sebagai salah satu upayanya untuk melakukan adaptasi menghadapi alam lingkungan yang berbeda dengan daerah asalnya. Dalam masa perantauannya ini, remaja seperti mengalami masa puber tahap kedua, terutama bagi mereka yang belum menemukan akan jati-dirinya atau mereka yang selama ini hanya berkecimpung dalam “lingkaran” keluarga maupun lingkungan akademik. Dari hal itulah kemudian memunculkan perubahan yang positif (sesuai dengan agama dan nilai-nilai yang ada) dan juga perubahan yang negative, dimana kebanyakan dari remaja terdorong kepada hal negatif yang salah satu diantaranya adalah terjadinya hubungan seks pra nikah dalam kehidupan remaja di perantauan.
Hubungan seks pranikah dapat digolongkan sebagai perilaku menyimpang atau bisa juga disebut bagian dari kenakalan remaja, sebagai akibat gagalnya sistem kontrol diri terhadap pengaruh dari luar yang kuat serta dorongan dalam diri remaja itu sendiri, atau bisa dibilang lemahnya pengendalian diri seseorang terhadap rangsangan-rangsangan di sekitarnya sehingga mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang, yang diangapnya sebagai perbuatan yang mengandung “nilai lebih” oleh indiidu maupun kelompok remaja (peer group). Adapun remaja yang melakukan perilaku menyimpang pada umumnya memiliki ciri kebribadian khusus yang lebih berorientasi pada “kehidupan masa sekarang”, yaitu bersenang-senang dan puas pada hari ini dan kurang memperhatikan hari esok, sehingga mereka mengalami kekurang mampuan untuk mengenal norma-norma yang ada serta kurang bertanggung jawab secara sosial. Dalam tulisan ini, penulis menggolongkan hubungan seks pranikah ke dalam kelompok delinkuensi komulatif, dimana remaja terkena imbas dari konflik antara budaya tradisional dan budaya modern, sehingga membuat kegelisahan hati pada remaja yang kemudian mendorong mereka untuk berbuat sesuai dengan pemikirannya sendiri. Bahkan pernah menjadi hal yang mengejutkan dala masyarakat, bahwa kebanyakan remaja melakukan seks pra nikah only for fun, tanpa menyadari apa dampaknya nanti bagi dirinya maupun orang-orang disekitarnya
Adapun penjelasan latar belakang dari semakin marakanya hubungan seks pranikah dalam kehidupan remaja di alam perantauan ini akan dijabarkan dengan menggunakan kerangka teori Social-Learning dari Bandura, teori tersebut berpendapat bahwa perilaku manusia dibedakan oleh tiga hal yang saling berhubungan antara faktor personal/individu, faktor lingkungan, dan faktor perilaku. Dimana yang menjadi Faktor personal dalam masalah ini adalah rasa malu dalam diri remaja, pengetahuan mengenai seksualitas, sikap terhadap hal-hal yang berbau seksualitas, keterbukaan dalam komunikasi dengan orang tua maupun orang yang sesuai dengan keadaaannya, gaya hidup, pengendalian diri, aktifitas sosial, rasa percaya diri, usia, agama dan status hubungan. Sedangkan yang termasuk didalam Faktor lingkungan adalah akses dan kontak dengan sumber-sumber informasi, akses terhadap benda maupun tempat yang berhubungan seksualitas, kehidupan sosial-budaya masyarakat, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu. Dan yang terakhir adalah Faktor perilaku, termasuk didalam faktor ini adalah gaya hidup seksual (orientasi seksual, pengalaman seksual, jumlah pasangan), peristiwa-peristiwa kesehatan (Penyakit Menular Seksual, kehamilan, aborsi) dan penggunaan alat kontrasepsi.
sDalam faktor personal atau faktor dari dalam diri seseorang inilah yang lebih banyak pengaruhnya bagi kehidupan seseorang. Dalam tulisan ini penulis akan menjabarkan beberapa hal yang termasuk faktor personal yang dianggap penting, yaitu rasa malu, keingin-tahuan akan hal-hal seksualitas, dan keterbukaan antara anak dan orang tua. Adapun yang akan dibahas pertama dari faktor personal adalah semakin minimnya rasa malu pada seseorang sehingga mengakibatkan hijab budaya luntur dari kehidupan masyarakat. Sering didapati bahwa dalam pergaulan remaja dewasa ini, tindakan-tindakan yang tidak sesuai norma sudah biasa dilakukan dan bahkan menjadi pemandangan yang umum dalam masyarakat, semisal memakai baju yang minim dan seksi bagi remaja cewek di tempat umum menjadi pemandangan yang sudah biasa, bahkan melihat para remaja berpacaran dengan cara-cara yang sudah menjurus di tempat umum pun sudah biasa, bahkan mereka berbuat sedemikian rupa yang seolah-olah dunia ini hanya ada mereka dan yang lainnya numpang. Hal ini yang kemudian penulis anggap sebagai pacaran yang salah, yang tanpa didasari rasa sayang dan hanya “cinta”. Lunturnya budaya malu dalam diri remaja lebih banyak disebabkan keinginan mereka untuk mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa mereka eksis dan pantas untuk dianggap bagian dari masyarakat tersebut. Apalagi bagi remaja yang alam perantauannya adalah kota besar dengan tingkat modernitas tinggi, yang nilai-nailai kearifan lokalnya sudah mulai memudar, mereka (para remaja) dihadapkan pada arah adaptasi yang semakin meninggalkan nilai-nilai yang mereka warisi dari daerah asal, yang sering kali nilai-nilai di alam rantau justru mengarahkan pada mereka pada hal-hal yang negatif. Sehingga para remaja menjadi bingung membedakan antara mana yan baik maupun yang buruk, karena yang dianggap baik di daerah asal, belum tentu dianggap baik di daerah perantauan, begitu pula sebaliknya. Hal ini yang kemudian menyebabkan remaja semakin kehilangan pegangan akan hal yang seharusnya dia merasa malu atau merasa biasa, atau bahkan bangga. Dari sinilah banyak dari remaja yang kemudian terdorong untuk berani melakukan hubungan seks pra nikah, yang bahkan mereka tidak malu mengakuinya bahkan membanggakannya di lingkungan pergaulannya.
Selain semakin minimnya rasa malu seseorang, penyebab lainnya adalah adanya rasa keingintahuan remaja akan seksualitas, hal ini merupakan sifat dasar bahkan sering dikatakan sudah menjadi bagian dari Sunnatulloh yang dimiliki anusia. Akan tetapi pada kenyataannya rasa keingin tahuan ini yang biasanya tidak dipenuhi oleh orang tua, adapun pendidikan akan seksual yang harus dilakukan orang tua sering kali kurang ada petunjuk yang jelas tentang cara mendidik anak mengenai seksual, bahkan orang tua kadang beranggapan bahwa anaknya masih belum pantas untuk mendapat pendidikan tentang seksual. Hal ini menyebabkan mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lainnya, seperti teman atau media-media informasi. Dengan teman sepergaulannya remaja merasa sangat bebas membicarakan masalah seksualitas, bahkan hal ini sering menjadi topik pembicaraan yang dianggap menarik selama proses bergaul. Media massa, baik cetak maupun elektronik, menyediakan banyak informasi yang juga bisa diakses oleh remaja, kapan saja dan di mana saja. Sementara pendidikan seks dari orang tua maupun pihak-pihak yang berkompeten masih terbilang kurang, mengakibatkan remaja dapat terjerumus ke pergaulan bebas dan pelanggaran hukum lainnya. Apalagi bagi remaja yang ada di alam perantauan, yang memiliki fasilitas media untuk mengakses hal tersebut secara bebas dan tanpa filter, terutama dari media Internet dan juga majalah-majalah dewasa.
Friedan (2000:41) dalam Resmiwaty (2006) mengatakan bahwa media, terutama televisi dan majalah telah dijadikan sarana menjual berbagai komoditas seks yang banyak dijumpai belakangan ini. Sehingga dapat disimpulakan bahwa dengan perkembangan teknologi yang terlalu cepat dan kurangnya kesiapan dari mayarakat dalam menghadapi perubahan tersebut pada akhirnya akan menimbulkan hal yang negatif yang besar, misal akses kepada informasi yang dianggap tabu semakin mudah diantaranya akses kepada hal-hal yang berbau pornografi. Hal ini memicu pemuasan atas rasa keingintahuan yang besar pada remaja akan permasalahan tersebut. Dalam hal ini teknologi berperan sebagai penunjang terjadinya perubahan sosial yang cukup besar. Dengan teknologi membawa kita pada hal-hal yang sebelumnya sulit dicapai menjadi lebih mudah, bahkan menyadarkan pad nilai-nilai yang berbeda dengan kondisi yang ada, dalam hal ini terkait informasi seksualitas yang beredar dan dapat diakses melalui media elektronik. Sehingga keberadaan teknologi ini kemudian membawa masalah sosial baru dalam masyarakat, dimana masalah baru ini berpengaruh besar dan berkembang pada diri individu-individu. Disini teknologi menjadi saluran inovasi yang tepat untuk masyarakat, dan masyarakat sendiri mau ataupun tidak mau, menjadi konsumen pasif dari inovasi teknologi tanpa mampu memfilter pengaruhnya secara intensif.
Kemudian ditambah sikap kurang terbukanya anak kepada Orang tua, si anak berusaha menyimpan masalahnya sendiri serapat mungkin akibat putusnya hubungan komunikasi dengan keluarga karena orang tua cenderung konservatif dan anak berada di alam perantauan. Orang tua sendiri dirasa kurang bisa mengamati fase awal anak merantau, dimana muncul anggapan di kalangan orang tua, bahwa anak yang selama ini menjadi tanggung jawabnya sudah dewasa dan pantas untuk di”lepas”kan. Apalagi ditambah kepercayaan yang diberikan orang tua untuk pengelolaan finansiaan dan lainnya secara mandiri, hal inilah yang kemudian disebut sikap orang tua yang lebih permisif terhadap anak.
Sedangkan untuk faktor lingkungan adalah adanya tokoh masyarakat yang melakukan hubungan bebas yang kemudian menjadi media kampanye dan propaganda seks bebas yang selanjutnya menjadi trend anak muda. Masyarakat saat melihat yang mereka anggap lebih tingi derajatnya akan berusaha meniru, baik secara sadar maupun tidak, dari perbuatan “tokoh” tersebut. Misalkan adanya kaum selebritis yang hamil di luar nikah ataupun artis telah terkenal dengan “aksi” seksualnya, akan menjadi semacam daya tarik dari masyarakat awam untuk beranggapan bahwa hal itu pantas dan menjadi legal, apalagi yang melakukan hal tersebut adalah tokoh agama ataupun keluarga dari tokoh agama itu sendiri. Seperti yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, saat seorang anak dari Ustadz terkenal mencium pacarnya yang sedang sakit dan diliput dalam media massa, mengakibatkan timbulnya pengabsahan perbuatan tersebut dalam masyarakat. Hal ini disebabkan kurangnnya pemahaman agama secara tekstual, dan lebih taqlid terhadap seorang figur secara membabi buta
Kemudian kurangnya tanggung jawab masyarakat akan cinta dan sex bebas menjadi faktor penyebab lain yang dirasa pengaruhnya cukup kuat dalam diri individu. Selain itu, masyarakat masih menganggap “tabu” untuk membicarakan masalah seksualitas, yang kemudian ditambah dengan kurangnya perhatian masyarakat untuk menjaga anggotanya dari pengaruh yang salah seperti itu. Sebagai akibat keegoisan masyarakat kota yang menjadi lingkungan baru bagi remaja yang marantau. serta lemahnya kontrol budaya pada masyarakat (gropyokan atau sweeping). Terutama pada rumah kost maupun kontrakan yang sering kali diserahkan pada pengontrak dan tidak mempedulikan apa yang akan terjadi pada rumah tersebut. Banyak diantara para perantau remaja yang bermesraan dilanjutkan dengan hubungan seks dengan pasangannya di tempat kost. Hal ini dapat dilakukan karena tidak adanya pengawasan dari pihak pemilik rumah kost, ditambah lagi masyarakat sekitar yang cenderung tidak mau tahu dengan apa yang terjadi di lingkungan mereka. Bahkan yang menjadi alternative lain bagi para remaja yang sedang terbuai dalam nafsunya adalah dengan menyewa tempat-tempat bermalam yang mengizinkan muda-mudi dalam satu ruangan, semisal hotel, motel maupun villa.
Dan yang terakhir adalah faktor perilaku, dimana merupakan perwujudan dari kedua faktor sebelumnya. Remaja dalam alam perantauan sering kali dihadapkan gaya hidup seksual yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh Individu dari daerah asalnya, dimana dalam alam perantauan bisa diketemukan penyelewengan orientasi seksual yang dilegalkan, missal terbentuknya perkumpulan Gay maupun waria, hal ini kemudian secara perlahan akan merubah nilai yang dianut remaja, sehingga bukan tidak mungkin akan terjerumus kepada penyelewengan orientasi seksual tersebut sebgaia akibta terjalinnya kontak komunikasi antara individu dengan “mereka”. Maslah lain yang dialami remaja terkait gaya hidup seksualitas adalah pengalaman seksual, baik yang dialami sendiri maupun yang dialami temannya yang kemudian diceritakan kepadanya, baik dalam bentuk berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, berkencan, bahkan sampai melakukan senggama. Yang kemudian mendorong remja untuk melakukan lebih dari pengalaman sebelumnya, seperti yang sebelumnya berani melakukan pegangan tangan akan berkembang pada pelukan atau ciuman. Pengalaman-pengalaman yang didapat individu ini kemudian dapat semakin menyebar ke individu lain sebagai akibat seringnya gonta-ganti pasangan, yang pengalaman yang biasanya dilakukan dengan pasangan sebelumnya akan dilakukan juga dengan pasangan yan baru, sehingga dari situ akan terus menyebar di kalangan remaja tanpa ada pembatasan yang pasti. Dan penjelasan terakhir dari faktor ini adalah penggunaan alat kontrasepsi sebagai media untuk melakukan seks yang “aman”. Istilah aman yang menyertai sering penggunaan alat kontrasepsi ini sering kali mengaburkan pengertian terhadap seks yang aman dengan yang “aman”. Seks yang aman sebenarnya adalah seks yang dilakukan dalam ikatan suci atau pernikahan yang membawa pelakunya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, yang diharapkan berujung pada lahirnya buah cinta atau anak, bukan “aman” dalam artian mengurangi resiko hamil atau terkena penyakit seksual.
Dalam pergaulan antara pria dan wanita yang seringkali menimbulkan
berbagai problem yang memerlukan pengaturan dengan suatu peraturan (nizham)
tertentu. Pergaulan antara pria dan wanita itu pulalah yang melahirkan
berbagai interaksi yang memerlukan pengaturan dengan suatu peraturan
tertentu. Maka peraturan pergaulan pria-wanita seperti inilah
sesungguhnya yang lebih tepat disebut sebagai an-nizhâm al-ijtimâ‘î.
Alasannya, sistem inilah yang pada hakikatnya mengatur pergaulan
antara dua lawan jenis (pria dan wanita) serta mengatur berbagai
interaksi yang timbul dari pergaulan tersebut. Karena itu, pengertian an-nizhâm al-ijtimâ‘î
dibatasi hanya untuk menyebut sistem yang mengatur pergaulan
pria-wanita dan mengatur interaksi/hubungan yang muncul dari pergaulan
tersebut, serta menjelaskan setiap hal yang tercabang dari interaksi
tersebut. Dalam hubungan antara pria dan wanita ini, dapat digolongkan
menjadi dua golongan yaitu, pertama, orang-orang yang terlalu melampaui
batas (tafrith), yang beranggapan bahwa termasuk hak wanita
adalah berdua-duaan (berkhalwat) dengan laki-laki sesuai kehendaknya dan
keluar rumah dengan membuka auratnya dengan baju yang dia sukai. Kedua,
orang-orang yang terlalu ketat (ifrath), yang tidak memandang
bahwa di antara hak wanita ialah melakukan usaha perdagangan atau
pertanian. Mereka pun berpandangan bahwa wanita tidak boleh bertemu
dengan pria sama sekali, dan bahwa seluruh badan wanita adalah aurat
termasuk wajah dan telapak tangannya. Dari kedua pandangan tersebut
kemudian melahirkan pemisah diantara kaum muslimin, ataupun masyarakat
pada umumnya
Di lain pihak, terkonsentrasinya perhatian masyarakat kepada kedua
pandangan tersebut, membuat masyarakat mengesampingkan
pelanggaran-pelanggaran dalam an-nizhâm al-ijtimâ‘î, yang salah
satu diantaranya adalah munculnya fenomena hubungan seks pra-nikah dalam
masyarakat. Adapun yang menjadi salah satu penyebab kegoncangan
pemikiran dan penyimpangan pemahaman dari kebenaran ini, adalah serangan
yang dilancarkan oleh peradaban Barat berupa pemikiran akan kebebasan.
Peradaban Barat benar-benar telah mengendalikan cara berpikir dan selera
sedemikian rupa, sehingga mengubah pemahaman (mafahim) masyakat tentang kehidupan, tolok-ukur (maqayis) terhadap segala sesuatu, dan keyakinan (qana’at) yang telah tertancap di dalam jiwa individu, seperti ghîrah (semangat)
terhadap Islam atau penghormatan kita terhadap tempat-tempat suci.
Kemenangan peradaban Barat atas kita telah merambah ke seluruh aspek
kehidupan, termasuk aspek pergaulan pria wanita.
Islam memandang seksualitas merupakan suatu hal yang suci dan
bukanlah suatu hal yang kotor, yang tidak hanya dikaitkan dengan masalah
hubungan intim antara laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga
membahas aspek-aspek lain yang terkait di dalamnya, seperti masalah
bersuci, ta’aruf, interaksi sosial, gender, pernikahan dan mendapatkan
keturunan. Karena itu diperlukan pemahaman akan remaja dan aspek-aspek
kehidupannya untuk mengetahui kebutuhan persoalan seksualitas yang
mereka inginkan, sehingga konsep bimbingan akan lebih tepat sasaran.
Konsep bimbingan seksualitas bagi remaja dalam perspektif Islam meliputi
metode, metodenya antara lain, secara langsung dan tidak langsung,
dengan materi berisi tentang mengenalkan mahramnya, menjaga kesehatan
alat reproduksi, menjauhi zina, cara mengontrol dorongan seksual,
anjuran menikah, memelihara pandangan dan kehormatan, memakai pakaian
yang sopan, larangan berduaan di tempat sepi, menjaga pergaulan dari
sifat negatif, memfilter media-media yang berbau pornografi, semua itu
diberikan dalam rangka pemberian pengetahuan kepada para remaja, karena
dengan adanya pengetahuan tersebut remaja diharapkan akan mempunyai
kesadaran sehingga ia akan menjauhi perbuatan zina.
Lebih dari itu, Islam telah menetapkan hukum-hukum Islam tertentu
yang berkenaan dengan hal ini. Hukum-hukum tersebut banyak sekali
jumlahnya. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik pria maupun
wanita, untuk menundukkan pandangan. Hal ini sesuai dengan QS an-Nûr
ayat 30-31.
2. Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan
pakaian secara sempurna, yakni pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya,
kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Mereka hendaknya mengulurkan
pakaian hingga menutup tubuh mereka. Hal ini sesuai dengan QS an-Nûr
ayat 31 dan QS al-Ahzâb: 59
3. Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan)
dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam,
kecuali jika disertai dengan mahram-nya. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW: “Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah
dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali jika
disertai mahram-nya.” (HR Muslim).
4. Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat
(berdua-duaan), kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya. Hal ini
sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Janganlah sekali-kali seorang pria
dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya.”
(HR Muslim).
5. Islam melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali
seizin suaminya, karena suami memiliki hak atas istrinya. Maka tidak
dibenarkan seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali atas izinn
suaminya. Jika seorang istri keluar tanpa seizin suaminya, maka
perbuatannya termasuk ke dalam kemaksiatan, dan dia dianggap telah
berbuat nusyûz (pembangkangan) sehingga tidak berhak mendapatkan nafkah
dari suaminya.
6. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus komunitas
wanita terpisah dari komunitas pria; begitu juga di dalam masjid, di
sekolah, dan lain sebagainya.
7. Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria
dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan muamalat; bukan
hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita
dengan pria yang bukan mahram-nya atau keluar bersama untuk
berdarmawisata.[
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Adnani H. & Widowati Citra
(2006), Faktor yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan perilaku
seks karena ia didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba
segala hal yang belum diketahui, dorongan inilah yang memotivasi remaja
untuk belajar tentang kesehatan reproduksi. Pendidikan seksualitas yang
diberikan harus sesuai kebutuhan remaja, serta tidak menyimpang dari
prinsip pendidikan seksulitas itu sendiri. Pendidikan seksualitas harus
mempertimbangkan : Pertama, pendidikan seksualitas harus didasarkan
penghormatan hak reproduksi dan hak seksual remaja untuk mempunyai
pilihan. Kedua, berdasarkan pada kesetaraan gender. Ketiga,
partisipasi remaja secara penuh dalam proses perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi pendidikan seksualitas. Keeempat, tidak hanya dilakukan
secara formal, tetapi juga nonformal. Bila remaja sulit mendapatkan
informasi melalui jalur formal, terutama dari lingkungan sekolah dan
petugas kesehatan, maka kecenderungan yang muncul adalah coba-coba
sendiri mencari sumber informal.
Remaja dalam menentukan sikap haruslah bersikap mandiri, tegas dan
bebas. Artinya dapat mengambil keputusan sesuai dengan keinginan tanpa
harus membatasi diri, dapat menentukan apa yang terbaik untuk diri
sendiri. Hal inilah yang disebut sebagai perilaku asertif. Remaja yang
bersikap asertif mampu berkomunikasi dengan semua orang secara terbuka,
langsung, jujur, dan sebagaimana mestinya, memiliki pandangan yang aktif
tentang kehidupan, mempunyai usaha-usaha untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya, mampu mengungkapkan perasaan dan pikirannya, mampu
memberi dan menerima pujian serta dapat menerima keterbatasan dirinya.
Hal ini erat kaitannya dengan perilaku asertif remaja terhadap lawan
jenis. Perilaku asertif terhadap lawan jenis ini merupakan suatu
perilaku yang timbul dalam diri individu berkaitan dengan pergaulan dan
lingkungan. Asertif terhadap perilaku seksual pranikah adalah kemampuan
seseorang bersikap tegas mempertahankan hak seksualnya untuk tidak
dilecehkan dan dapat mengambil keputusan seksualnya dengan tetap memberi
penghargaan atas hak orang lain dan tanpa menyakiti orang lain atau
pasangannya, serta mengekspresikan dirinya secara jujur dengan cara yang
tepat tanpa perasaan cemas yang mengganggu sehingga mendorong
terwujudnya kesejajaran dan persamaan dalam hubungan dengan pasangannya.
Jika remaja putri mampu melakukan penilaian tentang benar dan salah,
baik dan buruk suatu perilaku, maka mereka akan memahami mana perilaku
yang benar dan mana perilaku yang salah, sehingga remaja putri dapat
mengambil keputusan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang
timbul dari hati nurani dan bukan paksaan dari luar yang disertai pula
oleh rasa tanggungjawab. Dalam perilaku seksual, jika remaja putri mampu
melakukan pertimbangan terhadap perilaku seksual pranikah, dimana
pertimbangan tersebut akan memunculkan pemahaman tentang resiko perilaku
seksual, maka remaja akan mampu untuk mengelola dorongan seksualnya
secara baik dan dorongan seksualnya dapat disalurkan secara sehat serta
bertanggungjawab.
Selain solusi yang diberikan kepada individu, ada juga solusi yang
seharusnya dilakukan lingkungan untuk mengatasi problema seksualitas
tersebut, antara lain menjadikan kehadiran keluarga sebagai lembaga
nternalisasi nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan seksual
pra-nikah, turut berperan dalam mendidik anak mengenai masalah
seksualitas.Untuk itulah pengetahuan dan pendidikan mengenai seks
hendaknya diberikan kepada anak. Penjelasan tentang seks tersebut
hendaknya jelas dan tegas agar anak-anak tidak salah kaprah dalam
menangkap setiap informasi yang diberikan . Selain itu, dari pihak
pemerintah untuk merespons permasalahan remaja tersebut, BKKBN telah
melaksanakan dan mengembangkan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
yang merupakan salah satu program pokok pembangunan nasional yang
tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 2004-2009).
Salah satu solusinya adalah menciptakan komunikasi yang efektif dalam
keluarga, antara orangtua dengan anak remaja, sehingga segala persoalan
yang dialami oleh remaja akan dapat dibantu orang tua. Oleh karena itu,
pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga harus terus diupayakan untuk
mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera. Fungsi-fungsi keluarga yang
harus diupayakan adalah melalui fungsi agama, fungsi sosial budaya,
fungsi cinta kasih; fungsi perlindungan; fungsi reproduksi; fungsi
sosial dan pendidikan; fungsi ekonomi; dan fungsi pembinaan lingkungan.
Selain itu, BKKBN mempunyai program pembinaan keluarga yang mempunyai
anak remaja melalui kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR), sebagai salah
satu upaya untuk menjalin komunikasi antara orang tua dengan remaja.
Dalam kelompok ini, para orangtua dibekali teknik dan pendekatan kepada
remaja, sehingga remaja bisa terbuka kepada orang tua dalam hal
informasi Kesehatan Reproduksi Remaja. Sedangkan untuk program remaja
sendiri, BKKBN mengembangkan kelompok sebaya dengan (peer group) di sekolah-sekolah dan organisasi remaja .
Sedangkan menurut 6 prinsip yang menjadi landasan sosiologi menurut
Ibnu Khaldun, hukum-hukum perubahan berlaku pada tingkat kehidupan
masyarakat, bukan pada tingkat individu. Sehingga untuk melakukan
perubahan harus dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, bahkan Khaldun
menggambarkan suatu pemerintahan yang korup pun akan mengalami perubahan
sebagai akibat kekuatan sosial yang sangat besar. Prinsip lain dari
Khaldun mengatakan bahwa masyarakat ditandai oleh perubahan, yang dapat
diartikan bahwa tingkat perubahan antara masyarakat satu dengan
masyarakat lain mungkin sangat berbeda. Oleh karena perbedaan itu,
dibutuhkan kecerdasan adaptasi dari individu untuk tetap berada dalam
jalurnya, hal inilah yang dialami oleh perantau, dimana perubahan
masyarakat di daerah asal cenderung kecil sebagai akibat lemahnya atau
sedikitnya rangsangan perubahan yang masuk dalam masyarakat awalnya,
sedangkan di alam perantauan (kota besar) bersifat kebalikan dari daerah
asalnya.
Memahamkan pengaruh terjadinya hubungan seks pranikah terhadap kehidupan remaja, hal ini bisa dilakukan oleh orang tua, tokoh masyarakat, maupun orang-orang yang sekiranya dipandang oleh remaja sebagai tauladan dan panutan. Berbagai hal yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya kemudian mengakibatkan meningkatnya perilaku seks pada remaja, yang kemudian berkembang pada perilaku seks bebas/seks di luar nikah yang dilakukan dengan berganta-ganti pasangan, yang akan mendorong peningkatan kerentanan remaja terhadap berbagai macam penyakit, terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk ancaman semakin meningkatnya resiko terhadap HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS). Dari hal ini diharapkan ada perasaan takut dalam diri remaja, sehingga mereka mencoba menghindari hal-hal yan mengarahkan pada hubungan seks pranikah. Hal ini hampir sama seperti membuat mitos beru unutuk menjaga masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan norma=norma yang ada.
Memahamkan pengaruh terjadinya hubungan seks pranikah terhadap kehidupan remaja, hal ini bisa dilakukan oleh orang tua, tokoh masyarakat, maupun orang-orang yang sekiranya dipandang oleh remaja sebagai tauladan dan panutan. Berbagai hal yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya kemudian mengakibatkan meningkatnya perilaku seks pada remaja, yang kemudian berkembang pada perilaku seks bebas/seks di luar nikah yang dilakukan dengan berganta-ganti pasangan, yang akan mendorong peningkatan kerentanan remaja terhadap berbagai macam penyakit, terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk ancaman semakin meningkatnya resiko terhadap HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS). Dari hal ini diharapkan ada perasaan takut dalam diri remaja, sehingga mereka mencoba menghindari hal-hal yan mengarahkan pada hubungan seks pranikah. Hal ini hampir sama seperti membuat mitos beru unutuk menjaga masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan norma=norma yang ada.