Selasa, 22 Januari 2013

Arsip untuk Januari, 2013

MASALAH ETNOSENTRISME DALAM ERA DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH



MASALAH ETNOSENTRISME DALAM ERA DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

(PRASANGKA, DISKRIMINASI DAN ETNOSENTRISME)

Fenomena Etnosentrisme
Gejala etnosentrisme muncul dan menyebar di daerah-daerah di Indonesia dalam berbagai bentuk. Manifestasi masalah etnosentrisme dalam beraneka bentuk menunjukkan kepada kita bahwa masalah etnosentrisme begitu kompleks. Untuk mempermudah kita memetakan fenomena etnosentrisme tersebut, penulis mencoba mengelompokkan masalah-masalah tersebut dalam beberapa jenis masalah.
2.1.1 Etnosentrisme dalam Pilkada Langsung
Dalam kerangka Demokratisasi, UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 24 ayat 5 mencatat:
Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan 3 (Gubernur dan Bupati) dipilih dalam satu pasangan daerah secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Undang-undang ini menjadi landasan bagi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Mekanisme Pilkada langsung ini merupakan salah satu bagian dari upaya peningkatan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Sejak Juni 2005 berbagai daerah di Indonesia mulai mengadakan pilkada secara langsung.
Idealnya, pemilihan kepala daerah secara langsung memberi kontribusi positif dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan lokal yang otonom dan demokratis, namun secara empiris tidak menutup kemungkinan potensi masalah – dana pilkada, korupsi politik (political corruption), juga termasuk konflik politik – dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah akan bermunculan, dimulai dari masa persiapan sampai dengan pasca penetapan hasil. Demikian pula masalah bisa muncul dari unsur penyelenggara sampai pada pasangan calon dan partai politik yang mengusungnya.(10) Dan Pilkada langsung pun tak luput dari berbagai masalah yang berbasis etnosentrisme.
Dalam sebuah penelitian tentang “Persepsi Masyarakat Kota Surabaya terhadap Pelaksanaan Pilkada”, ditemukan bahwa tidak selamanya pemilihan langsung itu selalu berdampak positif dalam segala hal. Ada sisi-sisi negatifnya yang mencuat. Pemilihan kepala daerah secara langsung dipahami sebagian besar responden justru akan memunculkan primordialisme yang begitu tinggi (74,9 persen responden mengatakannya). Sebagai ekses negatif, tidak dapat dihindarinya kenyataan seperti munculnya isu agama, kesukuan, kedaerahan (putera daerah) dan lain sebagainya.(11)
Konsep Putera Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu isu yang cukup dipopulerkan dalam pilkada lansung tersebut. Masyarakat mendesak agar pemimpin daerah harus orang asli dan bukan “pendatang”. Isu ini demikian mencuat dan menunjukkan satu kenyataan bahwa masyarakat kita semakin eksklusif. Hal yang terpenting yang dipertimbangkan bukan kompetensi atau kemampuan seseorang untuk memimpin melainkan dari mana dia berasal.
Bahkan, dalam satu daerah kabupaten atau propinsi pemilihan kepala daerah dijadikan pertarungan antar etnis. Setiap kelompok etnis atau agama berjuang untuk memenangkan orangnya. Tak jarang terjadi konflik horisontal. Di Kabupaten Timor Tengah Utara, salah satu kabupaten dalam Propinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya, pemilihan kepala daerah diwarnai oleh persaingan antar suku. Kepala daerah yang dipilih masyarakat bukanlah berdasarkan kompetensi calonnya melainkan karena suku atau asalnya. Dan Kepala Daerah akan menjadi milik sukunya saja dan anggota suku lain tidak merasa memilikinya.(12)
Media Indonesia melaporkan bahwa sejumlah tokoh masyarakat Lampung berharap bahwa putera daerah diberi kesempatan menduduki jabatan gubernur propinsi itu. Bahkan mereka sepakat menolak hasil pemilihan Gubernur akhir 2002 jika yang terpilih bukan putera asli Lampung.(13) Tuntutan serupa tentu bukanlah hal yang buruk. Apalagi bila kepala daerah selalu menjadi hasil drop dari pusat. Konsep PAD bukanlah sebuah konsep yang salah sebab all politics is local. Tetapi ini akan menjadi masalah bila karena mementingkan putera daerah lalu menolak yang dari luar daerah. Padahal orang itu sudah lama mengabdi di daerah tersebut dan  telah mengenal dengan baik daerah tersebut serta memiliki kompetensi yang lebih dari pada calon lain yang putera asli daerah.
Masalah etnosentrisme dalam pilkada menjadi hal yang menuntut perhatian bila dalam satu daerah yang sama terjadi pertarungan antar etnis. Sebuah pemerintahan lokal akan berantakan jika dalam skala kecil, yakni kabupaten, terjadi konflik horisontal antar etnis. Lalu bagaimana demokrasi lokal dapat terus berlangsung?

2.1.2 Etnosentrisme dalam Perekrutan PNS atau Birokrasi
Dalam perekrutan Pegawai negeri sipil atau kaum birokrat kita dapat melihat bagaimana gejala mementingkan etnis dan ikatan-ikatan primordial memainkan peranannya. Setiap daerah pertama-tama menolak semua pegawai negeri yang berasal dari luar daerahnya. Kenyataan ini dapat kita lihat ketika daerah baik propinsi, kabupaten dan kota menolak menerima relokasi sekitar 3,9 juta pegawai eks Kanwil/Kandep ke daerah, khususnya yang bukan berasal dari etnik masyarakat setempat seperti terjadi di Riau, Kalimantan Barat, dan Papua. Demikianpun dalam hal pengangkatan pejabat birokrasi daerah, praktek PAD cukup kuat baik di Propinsi, kabupaten dan kota, bahkan kecamatan.(14)
Di daerah Timor Tengah Utara, gejala etnosentrisme dalam pengangkatan dan penempatan personil dalam birokrasi sangat nampak. Sekda, kepala-kepala dinas dan jabatan-jabatan penting dalam daerah ditempati oleh orang-orang yang berasal dari daerah atau suku yang sama dengan pemimpin daerah. Hal ini tentu akan membawa konflik yang berkepanjangan dalam daerah dan akan menghambat pembangunan daerah. Kriteria pengangkatan dan penempatan Pegawai Negeri Sipil adalah ikatan etnik kesukuan dan bukan atas dasar kompetensi. Semua ini tentu menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian bangsa ini dalam era desentralisasi dan otonomi daerah.

2.1.3     Etnosentrisme Dalam Pengisian Badan Legislatif Daerah dan                                                 Pembuatan Kebijakan Lokal
Gejala etnosentrisme juga menyusup dalam pengisian badan legislatif daerah walaupun tidak begitu kentara dan belum meluas. Paling tidak hal itu tampak dari penolakan masyarakat terhadap anggota DPRD yang pulang ke daerah pemekaran dari daerah induk, khususnya mereka yang bukan dari etnik setempat, seperti yang terjadi pada waktu pengisian DPRD Propinsi Maluku Utara, Gorontalo, Banten, Kabupaten/kota hasil pemekaran.(15)
Selain itu dalam hal pembuatan kebijakan lokal kita juga dapat menemukan gejala etnosentrisme. Gara-gara diberi wewenang luas baik di bidang politik maupun dalam bidang administrasi, daerah kebablasan mengimplementasikannya. Misalnya, keputusan DPRD Kabupaten Tanjung Jabung tentang Tata Tertib Pemilihan Kepala daerah yang menetapkan salah satu persyaratan calon kepala daerah adalah harus PAD, Perda Kabupaten Waringan Barat yang membatasi mobilitas orang pendatang, dan Maklumat DPRD Sumatera Barat tentang pengambil-alihan PT. Semen Padang.(16)

2.1.4     Etnosentrisme Dalam Pemekaran Daerah
Pemekaran Daerah menjadi suatu gejala yang cukup marak dalam era desentralisasi dan otonomi daerah. Daerah-daerah sibuk memekarkan diri. Entahkah tujuannya mulia, artinya atas kehendak rakyat dan demi kesejahteraan rakyat, atau kepentingan elit demi tujuan politis masih perlu kita pertanyakan. Tetapi terlepas dari hal ini, kita dapat melihat bahwa dalam pemekaran daerah ada gejala etnosentrisme.
Konflik horisontal antar etnis yang terjadi dalam satu kabupaten sering menjadi alasan pemekaran suatu daerah. Pada level pemekaran propinsi (mulai dari Banten, Maluku Utara, Gorontalo, Sampai Bangka Belitung) nuansa faktor etnik sangat kuat sekali. Orang Banten, Ternate, Gorontalo dan Bangka Belitung ingin mandiri masing-masing dari orang Bandung, Ambon, Manado dan Palembang. Hal ini tidak jauh berbeda juga mewarnai pemekaran puluhan kabupaten kita, seperti orang Mentawai dari Pariaman (Sumatera Barat). (17)
Dalam hubungan dengan masalah etnis dalam pemekaran daerah juga ada bahaya terhambatnya kerja sama antara daerah pemekaran dengan daerah induk. Setiap daerah mementingkan daerahnya sendiri dan bahkan ada pembersihan semua pejabat yang berasal dari daerah induk. Semua gejala ini tentu mesti kita cari jalan keluarnya agar dapat mewujudkan cita-cita mulia dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

2.2 Sebab-sebab Munculnya Etnosentrisme di Indonesia
Untuk menghindari atau mengatasi permasalahan etnosentrisme di Indonesia dalam era desentralisasi, pertama-tama kita mesti mengetahui sebab-sebab munculnya masalah-masalah tersebut. Dalam bagian ini penulis ingin memetakan beberapa sebab yang kiranya dapat membantu kita semua.

2.2.1 Budaya Politik
Salah satu faktor yang mendasar yang menjadi penyebab munculnya etnosentrisme di Bangsa ini adalah budaya politik masyarakat yang cenderung tradisional dan tidak rasionalis. Budaya politik masyarakat kita masih tergolong budaya politik subjektif Ikatan emosional –dan juga ikatan-ikatan primordial- masih cenderung menguasai masyarakat kita. Masyarakat kita terlibat dalam dunia politik dalam kerangka kepentingan mereka yang masih mementingkan suku, etnis, agama dan lain-lain. Aspek kognitif dan partisipatif masih jauh dari masyarakat kita.

2.2.2 Pluralitas Masyarakat Indonesia
Salah satu faktor penyebab munculnya masalah etnosentrisme adalah pluralitas Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan. Pluralitas masyarakat Indonesia ini tentu melahirkan berbagai persoalan. Setiap suku, agama, ras dan golongan berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan menguasai yang lain. Pertarungan kepentingan inilah yang sering memunculkan persoalan-persoalan di daerah.

2.2.3 Efek Kebijakan Yang Gegabah(18)
Munculnya fenomena etnosentrisme, arogansi daerah, kemaruk kekuasaan di daerah, egoisme daerah, primordialisme serta lunturnya nilai-nilai keindonesiaan sebenarnya tidak lebih merupakan produk dari kebijakan otonomi daerah yang kental dengan masalah-masalah dasar. Masalah-masalah dasar ini muncul karena undang-undang Pemerintahan Daerah dibuat dalam suasana politik yang serba tergesa-gesa, banyak muatan politisnya, gegagah karena tidak disiapkan metode dan alat implementasinya secara benar dan komprehensif.
Masalah-masalah dasar yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah sekarang ini, setidak-tidaknya dapat dilihat dari poin-poin berikut ini:
·         UU tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu kebijakan yang bersifat gegabah dan tidak hati-hati karena UU tersebut bukan merupakan kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah. Namun lebih karena desakan dan kepentingan politik tertentu khususnya oleh pemerintah Pusat pada waktu itu.
·         Perangkat implementasi tidak disiapkan secara matang sehingga menimbulkan  ketidakjelasan dan kekurangterbukaan tentang bagaimana implementasi yang baik mesti dimulai. Faktor-faktor pendukung implementasi tidak disiapkan secara matang dan terencana seperti misalnya berbagai peraturan kewenangan daerah dalam berbagai bidang. Kebingungan ini sangat jelas khususnya dalam perumusan kewenangan propinsi.
·         Ketidakjelasan dalam kewenangan dan perimbangan keuangan juga nampak sekali khususnya munculnya ktidakpuasan daerah tentang bagaimana sesungguhnya pengaturan masalah ini. Bahkan muncul banyak pesimisme bahwa manajemen keuangan daerah khususnya bagaimana menyediakan anggaran pembangunan menjadi kekhawatiran yang terbukti karena anggaran pembangunan daerah menjadi  sangat kecil. Artinya otonomi daerah selama ini hanya habis energinya untuk mengurusi manajemen internal pemda, dan tidak sempat membangun daerah (lihat minimnya anggaran pembangunan APBD di daerah-daerah).
·         Adanya kenyataan yang tidak bisa dibantah bahwa secara manajerial sesungguhnya daerah tidak siap untuk melaksanakan implementasi, sebagaimana kewenangan yang besar yang dimiliki daerah. Kemampuan manajerial dari perencanaan hingga evaluasi dalam bidang-bidang pelayanan yang pokok seperti kesehatan, pendidikan, SDM tidak mampu dijalankan daerah karena persiapan yang seadanya tanpa diikuti dasar infrasturktur yang kokoh untuk melaksanakan implementasi otonomi daerah. Otonomi daerah yang diharapkan meningkatkan kemampuan daerah, ternyata tidak jauh berbeda dengan praktek-praktek sebelumnya. Penyusunan Propeda, Renstrada, Repetada dan dokumen-dokumen lain yang dikerjakan pihak ketiga merupakan bukti tidak adanya perubahan yang lebih baik dalam bidang kemampuan daerah yang bersangkutan. Sehingga tidak mengherankan kalau banyak di media massa diekspos bahwa dokumen-dokumen di atas tidak mencerminkan potensi yang ada di daerah yang bersangkutan.
·         Penyerapan pegawai ke pusat maupun pusat ke daerah merupakan persoalan sendiri karena ternyata tidak tertangani dengan baik. Justru muncul kecenderungan semangat keindonesiaan yang mulai luntur karena justru adanya gerakan “kembali daerah asal” masing-masing tidak bisa dicegah lagi. Masalahnya semakin kompleks oleh karena banyak pegawai pusat yang mempunyai senioritas dan kepangkatan yang tinggi, sementara di daerah strukturnya terbatas.
·         Akuntabilitas daerah juga dipertanyakan sejalan kualitas SDM bidang lembaga perwakilan. Bagaimana akuntabilitas ini dijalankan? Hingga saat ini yang muncul hanyalah ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga publik di daerah.
·         Kepemimpinan pemerintah pusat untuk melaksanakan otonomi ini sangat terbatas karena lebih banyak memberikan perintah ketimbang turun ke bawah memberikan supervisi, teladan dan koordinasi. Contoh ketika daerah diminta membuat Renstrada yang baik, tetapi pusat tidak pernah memberikan contoh beginilah Renstrada yang baik.
Semua penjelasan di atas membuat kita bertanya apakah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah kebijakan yang tepat? Ataukah kita perlu mencari format baru yang tepat untuk negara ini menggantikan kebijakan Desentralisasi dan otonomi daerah? Jawaban atas persoalan ini akan penulis uraikan dalam bagian berikut ini.

2.4 Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Sebuah Pilihan Yang        Tepat
Sebagai sebuah sistem, desentralisasi dan otonomi daerah merupakan sebuah alternatif yang tepat di tengah krisis bangsa ini dalam mencari format demokrasi. Sistem sentralisasi yang diterapkan oleh rezim orde baru ternyata tidak mampu membawa bangsa ini menuju sebuah negara demokrasi. Dalam sistem ini, daerah-daerah termarginalkan.
Dalam Negara Kesatuan  Republik Indonesia yang penduduknya plural dalam suku bangsa, agama, ras dan golongan serta terdiri atas pulau-pulau yang terpisah-pisah, sistem desentralisasi dan otonomi daerah kiranya merupakan pilihan yang tepat. Negara Indonesia seperti tanah lapang di mana kekuatan-kekuatan dalam masyarakat berjuang untuk merebut sumber-sumber politis. Negara yang pluralis ini tentu tidak dapat dibingkai dalam sistem yang sentralistik(19). Sebaliknya jalan desentralisasi dan otonomi daerah adalah pilihan yang tepat.
Maka dapat dikatakan bahwa, sistem desentralisasi dan otonomi daerah dalam dirinya sendiri (an sich)  tidak menciptakan masalah etnosentrisme. Yang menimbulkan  persoalan adalah dalam tataran implementasi. Euforia demokratisasi seolah lepas kendali. Semangat yang berlebihan tanpa disertai kematangan struktur dan infrastruktur serta semua aktor yang bermain di dalamnya akan menyebabkan desentralisasi dan otonomi daerah hanyalah sebuah sistem yang kompleks masalahnya.
Yang mesti diperhatikan oleh semua pihak adalah bagaimana mengimplementasikan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tanpa jatuh dalam masalah etnosentrisme. Seluruh pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah mesti kita bingkai di bawah panji Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian kita tidak lagi berbicara tentang bagaimana mengubah desentralisasi dan otonomi dengan sistem yang baru melainkan bagaimana kita membenahi sistem desentralisasi dan otonomi daerah agar berjalan sesuai dengan tujuannya. Pembenahan ini akan membantu kita untuk menegakkan demokrasi di negara ini. Karena itu, dalam hubungan dengan masalah etnosentrisme, kita perlu menemukan jalan keluar atau langkah-langkah yang mesti kita buat untuk mengatasinya.

2.5 Langkah-Langkah Mengatasi Masalah Etnosentrisme
Untuk mengatasi masalah etnosentrisme dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, langkah pertama yang mesti dibuat adalah pendidikan politik. Pendidikan politik masyarakat ini menjadi tanggung jawab semua pihak di daerah terutama partai politik dan para politisi serta organisasi kemasyarakatan lainnya. Pendidikan politik atau sosialisasi politik mesti diarahkan pada perubahan budaya politik masyarakat dari subyektif dan parokhial menuju ke partisipatif.
Untuk mengantar masyarakat pada budaya politik partisipatif, dituntut suatu sistem pemerintahan yang memiliki kejelasan prosedural, terbuka, kompeten, dan menghargai kebebasan individu(20). Hal ini tentu menuntut dari pemerintahan daerah dan para politisi lokal untuk membangun suatu suasana demokrasi lokal yang mantap. Hal ini akan membantu masyarakat berkembang dalam kesadaran berpolitik. Sebab cara kerja pemerintah daerah dan politisi lokal yang berpolitik oppurtunis dan tidak fair sama dengan pembodohan masyarakat.
Di tengah masyarakat yang masih cenderung untuk terikat pada ikatan-ikatan primordial, peran partai politik sangat dibutuhkan. Seperti dalam kasus pemilihan kepala daerah, di mana rakyat memilih bukan karena kompetensi melainkan ikatan-ikatan emosional, partai politik hendaknya mempersiapkan calon yang kompeten. Parpol hendaknya proaktif dan konstruktif memahami dan membantu rakyat dalam kesadaran berpolitik. Rakyat seringkali bingung menentukan pilihan parpol dan calon pemimpin yang tidak jelas identitas dan karakternya. Ibaratnya memilih kucing dalam karung(21). Untuk itu Parpol tentu diharapkan memiliki calon yang kompeten dan dikenal masyarakat dan bukan malah menjebak rakyat terpuruk dalam ketakbrdayaan politik lewat money politcs dan lain sebagainya.
Desentralisasi dan otonomi daerah semestinya menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam pemerintahan. Ruang yang lebih terbuka bagi masyarakat mesti disediakan oleh pemerintah lokal. Desentralisasi dan otonomi daerah tidak berarti memindahkan pusat ke daerah, menciptakan raja-raja kecil di daerah melainkan membangun suatu pemerintahan yang lebih demokratis. Kerjasama yang baik antar semua pihak tidak akan membiarkan ‘mutiara’ ini terbuang begitu saja.
Dalam hal ini pemberdayaan masyarakat dan pemerintah adalah hal yang mesti dibuat demi terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera. Keduanya mesti belajar bersama untuk membangun kesadaran politik yang matang. Masyarakat dan pemerintah akan memainkan perannya secara proporsional demi terciptanya demokrasi lokal. Kesadaran politik ini akan menepis seluruh masalah etnosentrisme.
Konflik antar etnis merupakan sesuatu yang mesti diterima tetapi yang terpenting adalah bagaimana konflik itu bisa diselesaikan. Pemerintah perlu memberikan pedoman yang tepat dalam memandu otonomi daerah untuk meredam euphoria yang begitu deras. Pemerintah selalu mengamati segala aspirasi dan kebijakan yang berkembang di daerah agar tidak mengarah pada tuntutan yang destruktif dan mengoyakkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip integrasi bangsa dalam UUD 1945 harus menjadi acuan dalam setiap pengambilan kebijakan di daerah-daerah(22). Hal ini tentu akan juga menepis semangat kedaerahan yang terus berkembang.
Selain seperti yang telah saya uraikan di atas, berikut ini penulis akan mengutip beberapa langkah yang mesti dibuat dalam rangka memperbaiki implementasi desentralisasi dan otonomi daerah yang berbau etnosentrisme yang diusulkan oleh H. Abdulkahar Badjuri(23).
1.    Perlunya pembantuan kepada daerah (pendampingan atau capacity building programs) agar mereka melaksanakan otonomi daerah atas dasar kerangka dasar intelektual, kepraktisan dan kemampuan teknis yang mendasar. Supervisi pemerintah Pusat jelas merupakan conditio sine qua non. Sehingga pada masa depan daerah mampu membuat sendiri (having a capacity to make it) dokumen-dokumen perencanaannya, dan tidak dibuatkan oleh pihak ketiga. Konsultasi dengan para ahli tentunya bukan hal yang tabu. Yang tabu adalah kalau para ahli itu yang membuatkan dengan judul “proyek”. Kalau minta dibuatkan terus maka sampai kapan pun daerah tidak akan pernah mampu dan mandiri dalam manajemen publiknya (artinya program capacity building kemudian dipertanyakan efektivitasnya).
2.    Penelitian yang mendalam tentang implementation plan, sehingga daerah memiliki kejelasan arah dan tujuan dari otonomi daerah. Harus jelas perencanaan dan kesepakatan Pusat Daerah mengenai keseimbangan pendapatan dan pengeluaran, hubungan keuangan Pusat Daerah, kejelasan dalam sistem evaluasi kuantitatif keuangan menuju akuntabilitas daerah.
3.    Harus mempertimbangkan bottom up management khususnya dalam rangka pendemokrasian lembaga-lembaga di daerah, baik legislatif maupun eksekutif. Bagaimana teknisnya, tentunya bisa disusun berbagai metode yang realistis dilakukan di daerah.
4.    Menuntaskan PP dan aturan lainnya yang tidak controversial sehingga kejelasan implementasi menjadi nyata dan tidak berbenturan  satu sama lain. Ini bukan pekerjaan yang gampang karena harus dikaji dan dipersiapkan secara serius dan komprehensif. Aturan-aturan ini harus komprehensif sehingga fenomena-fenomena negatif seperti etno-sentrisme, egoisme daerah dan sebagainya bisa dinetralisir atau terantisipasi sebelumnya.
5.    Harus mengembangkan “transition plan”. Perencanaan transisi seperti ini hampir semua daerah di Indonesia belum melakukannya karena kekurangan supervisi dari pusat (salah satu sebabnya); di samping memang inovasi dan keterbatasan SDM di daerah.
6.    Harus ada kejelasan mengenai kewenangan pengelolaan yang lebih jelas dan transparan kepada daerah. Untuk jelas, pemerintahan pusat dan daerah harus saling berkomunikasi dan jalan sendiri-sendiri menggunakan pendekatan formalitas dan pendekatan kekuasaan semata.
7.    Harus dilakukan comprehensive field research mengenai implementasi otonomi daerah sebagai bagian dari complete evaluation terhadap kebijakan otonomi daerah. Hasil penelitian akademik ini menjadi dasar terhadap kebijakan baru yang akan disusun untuk mengatasi berbagai persoalan.
8.    Khusus mengenai kepegawaian; mempertimbangkan fenomena etnosentrisme serta kesempatan yang lebih luas untuk mutasi, promosi dan pengembangan pegawai lintas propinsi, lintas kabupaten/kota mungkin bisa dipertimbangkan lagi agar kewenangan kepegawaian ditarik kembali ke pusat.
Beberapa langkah di atas kiranya dapat menjadi penuntun bagi kita untuk mengimplementasikan desentralisasi dan otonomi daerah secara pas. Dalam arti kita berusaha untuk mengimplementasikan desentralisasi dan otonomi daerah tanpa jatuh dalam masalah etnosentrisme.
http://mansyah24.blogspot.com/2012/07/masalah-etnosentrisme-dalam-era.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar